Kisah Siti Manggopoh, Si Singa Betina dari Manggopoh
KISAH SITI MANGGOPOH, SI SINGA BETINA DARI MANGGOPOH
Siti Manggopoh. Nama perempuan asal Minang ini memang tidak bergaung, seperti RA Kartini yang dianggap sebagai tokoh pahlawan Indonesia. Padahal, jika ditelusuri lagi, Siti Manggopoh merupakan pahlawan perempuan dari Minangkabau yang mampu mempertahankan marwah bangsanya, adat, budaya dan agamanya. Bagaimana tidak, Siti Manggopoh tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang (belasting) hingga ia dijuluki sebagai "Singa betina dari Manggopoh".
Siti adalah wanita pejuang yang berasal dari Manggopoh, kecamatan Lubuk Basung, Kab. Agam. Ia biasanya dipanggil dengan Mande Siti.Kapan ia lahir, tidak ada yang tahu. Namun diperkirakan ia lahir pada tahun 1885. Nama Manggopoh dilekatkan pada dirinya, karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh. Manggopoh itu sendiri merupakan nama negerinya. Siti Manggopoh adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Masa kecilnya ia habiskan di surau. Ia mempelajari agama Islam dengan seorang guru yang berasal dari Padang. Di surau-lah semangat anti imperialisme timbul. Ia sangat membenci penjajahan.
Siti menikah dengan Rasyid. Pernikahan mereka ternyata tidak membuat Siti terikat dengan tugas perempuan di dalam rumah tangga. Selain disetujui oleh pihak keluarga, ia juga memandang bahwa Rasyid-lah lelaki yang tepat dalam mendampinginya dalam berjuang. Bersama suaminya, Rasyid, Siti memiliki semangat dan arah perjuangan yang setujuan. Mereka bahu membahu melepaskan penderitaan rakyat Minangkabau. Kesadaran ini muncul ketika Siti dan Rasyid merasakan bahwa telah terjadi penindasan di negerinya oleh pemerintahan Belanda.
Pada tanggal 11 November 2008, dalam rangka se-abad kebangkitan nasional, Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumatera Barat mengadakan seminar Internasional yang bertemakan Perlawanan Anti-Belasting dan Gerakan Kemajuan di Sumatera Barat 1908-2008 di View Parai Resort Bukittinggi, Kab. Agam. Salah satu materi yang dibahas adalah perang anti-belasting Manggopoh.
Belasting merupakan tindakan pemerintah Belanda yang menginjak harga diri bangsa Minangkabau. Rakyat Minangkabau merasa terhina ketika mematuhi peraturan untuk membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Apalagi peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Di Minangkabau, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
Puncak perlawanan Siti Manggopoh dan rakyat Manggopoh adalah pada tanggal 16 Juni 1908. Dalam aksi tersebut, Mande Siti berhasil masuk ke dalam markas serdadu Belanda yang sedang mabuk dan ia berhasil membunuh beberapa orang. Sesaat kemudian datang rakyat Manggopoh yang menyerang secara serentak. Akibatnya banyak serdadu Belanda yang tewas. Sayangnya, seorang serdadu Belanda selamat dan berhasil melihat Mande Siti dan rakyat Menggopoh melakukan aksi penyerangan. Keesokan harinya Mande Siti dan suaminya dicari oleh prajurit Belanda. Setelah 17 hari mengejarnya,Mande Siti dan suaminya menyerahkan diri kepada Belanda.
Belanda langsung memasukkan Mande Siti dan Suaminya ke penjara secara terpisah. Sebelum menerima keputusan pengadilan, Mande Siti dan Suaminya mendekam dipenjara selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. Setelah dua kali di sidang akhirnya Mande Siti dijatuhi hukuman dibuang seumur hidup. Tapi, lantaran mempunyai bayi, Siti terbebas dari hukuman pembuangan. Sedangkan, suami Mande Siti, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado. Akibatnya Mande Siti dan Rasyid jadi hidup berpisah. Akhirnya Rasyid meninggal di Tondano.
Mande Siti masih sempat menikmati alam kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sayangnya, ketika itu banyak orang yang lupa akan jasa perjuangan Mande Siti. Baru pada tahun 1957, orang mulai mengingat akan perjuangan heroik Mande Siti. Pemerintah Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan memberikan bantuan ala kadarnya. Mande Siti merasa senang. Bantuan yang ia terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Siti Manggopoh memang tak pernah muncul ke permukaan. Lantaran itu pula, sejarah pejuang perempuan yang satu ini hanya diketahui sebagian masyarakat Sumbar. Namun masyarakat setempat masih menghargainya, terbukti lewat peringatan 93 tahun Perang Manggopoh, yang sekaligus menjadi momentum peresmian Monumen Siti Manggopoh.
Kisah dari Siti Manggopoh inilah yang memotifasi saya bahkan merubah pola fikir saya terhadap kemampuan seorang wanita, Siti Manggopoh telah membuktikan bahwa dengan tekat dan usaha yang kuat, perempuan dan seorang ibu sekalipun bisa memperjuangkan kebenaran dan membela negeri nya.
Komentar
Posting Komentar